Malam di Villa Park, 14 April 1999, dalam laga semi final Piala FA antara Manchester United vs Arsenal berlangsung tegang. Demikian juga Ryan Giggs.
Aura rivalitas antar kedua tim hampir-hampir mendidihkan seisi stadion. Keduanya berambisi meraih gelar, selain soal harga diri agar tak malu di hadapan lawan.
Mereka juga dalam performa terbaik. Tim papan atas yang masing-masing ditukangi pelatih terbaik; Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger.
Tapi, semua mata justru tertuju pada Ryan Giggs.

Solo Run Ryan Giggs yang Terus Dikenang
Saat itu pertandingan memasuki babak tambahan. Di menit ke-109 skor masih imbang 1-1. Ketika banyak pemain mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, Giggs masih tampak memiliki sisa tenaga untuk menunjukkan magis-nya.
Giggs mendapatkan bola di wilayahnya sendiri setelah Patrick Vieira, gelandang Arsenal yang tangguh dan kokoh, melakukan kesalahan operan.
Di momen itu, dunia seakan terhenti. Para pendukung United menahan napas, apa yang akan dilakukan anak muda itu.
Giggs mulai berlari menggiring bola. Ia menerobos ke tengah lapangan. Menari-nari melewati Vieira dan membawa bola dengan sentuhan luar biasa di antara pemain-pemain Arsenal yang berusaha menghentikannya.
Posturnya yang ramping, kecil dan gesit, kaki-kaki lincah yang seakan memiliki mata, membuatnya sulit dijatuhkan oleh lawan.
Keseimbangan tubuh dan skill alamiah yang sudah menjadi bawaannya, memberinya kekuatan untuk terus maju.
Di depannya, sudah muncul bek tangguh Arsenal, Martin Keown. Keown mencoba memotong langkah Giggs dengan tekel keras, namun Giggs berhasil menghindar dengan berputar.
Ketika banyak pemain mungkin mencoba bermain aman dan memberikan operan, Giggs memilih sesuatu yang jauh lebih sulit. Ia tetap membawa bola.
Bahkan ia meningkatkan kecepatannya. Resiko yang hanya diambil oleh pemain ber-skill istimewa dan keberanian ekstra.
Dari sudut tribun, teriakan pendukung United semakin keras, berdegup seirama dengan setiap langkah Giggs.
Dirinya kini berhadapan dengan Lee Dixon, bek kanan Arsenal yang terkenal tanpa ampun. Namun, Giggs tak gentar; ia hanya menundukkan badan, mengubah arah, dan melewati Dixon dengan cepat.
Giggs kemudian tinggal berhadapan dengan penjaga gawang Arsenal, David Seaman, yang memiliki pengalaman panjang.
Namun, dengan ketenangan luar biasa, Giggs mendekati Seaman, dan dalam sepersekian detik, ia melepaskan tembakan.
Powernya tak seberapa, tapi akurasinya luar biasa. Bola itu melesat ke sudut atas gawang, melewati Seaman yang tak berkutik. Gol!
Stadion bergemuruh. Giggs merayakan golnya dengan membuka kaos dan berlari tak percaya pada dirinya sendiri di sepanjang garis.
Wajahnya penuh gairah dan tangannya mengibas-ngibaskan kaosnya di atas kepala.
Itu adalah ekspresi kegembiraan sejati. Semacam luapan emosi yang tak bisa disembunyikan setelah mencetak gol yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.
Momen itu membawa Manchester United menuju kemenangan dan mengantarkan mereka ke final Piala FA.
Kemenangan berikutnya, menjadi bagian penting dari “treble winner” bersejarah mereka pada musim 1998/1999.
Bagi para pendukung Manchester United, momen ini bukan sekadar gol. Melainkan mewakili determinasi, semangat dan gairah kemenangan khas Sir Alex dan Manchester United.